Wanara Laba dan Lelabaan Samar di Pura Pulaki

Semeton ingin meresapi dan melakoni ilmu keseimbangan hidup, baik kehidupan di dunia nyata maupun kehidupan di dunia kasatmata, datanglah dan berserah diri di Pura Pulaki. Ini bukan ajakan yang berlebihan, karena di Pura Pulaki kita bisa mendapat pencerahan tentang mahluk dan semesta yang benar-benar imbang, di mana segala makhluk diberi penghormatan dan penghargaan lewat upacara yang semestinya.

Yang lebih menakjubkan, melalui pura-pura pesanakan yang mengitari Pura Pulaki, hampir semua sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, hukum dan kebudayaan, memiliki ruang religius untuk diberi sembah pemujaan secara iklas.

Pada Weraspati Watugunung, 23 September ini, adalah puncak pidodalan di Pura Pulaki. Umat Hindu yang ingin datang untuk bersembahyang bisa menemukan pura ini dengan mudah. Pura ini berlokasi di pinggir Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk, tepatnya di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat Kota Singaraja. Setelah bersembahyang di Pura Pulaki, umat bisa melanjutkan ke pura pesanakan lain, seperti Pura Agung Melanting, Pura Kerta Kawat, Pura Pabean dan Pura Pemuteran yang puncak piodalan-nya dilaksanakan secara berurutan setiap hari.

Dalam upacara piodalan di Pura Pulaki ini akan diketahui betapa sebuah dunia dan mahluk yang menjadi penghuninya harus diberi penghormatan yang seimbang. Sebab tak mungkin satu makhluk bisa meniadakan mahluk lain. Masing-masing memiliki eksistensi, dan masing-masing harus saling mengakui keberadaannya.

Sebelum pujawali digelar pada malam harinya, di Pura Pulaki diselenggarakan upacara Wanara Laba, sebuah upacara persembahan untuk ratusan kera yang selama ini menjadi penghuni perbukitan di areal Pura Pulaki. Yang lebih unik, saat itu juga digelar upacara lelabaan untuk wong samar atau gamang yang sejauh ini diyakini turut menjaga keajegan Pura Pulaki dan pura pesanakannya yang lain.

Panglingsir Pura Agung Pulaki, Ida Bagus Mangku Temaja, memaparkan Wanara Laba merupakan sebuah upacara persembahan bagi kera yang selama ini menjadi pengaja setia Pura Pulaki. Ini dilakukan agar pada saat pujawali para kera itu tetap setia menjaga kelancaran dan kerahayuan pujawali. Secara simbolis, upacara itu memang dilakukan bagi kera di Pura Pulaki. Namun, sesungguhnya upacara itu juga dihaturkan bagi kera yang ada di seluruh Bali agar selalu menjaga Bali tetap ajeg dan rahayu.

Pada saat upacara Wanara Laba, pengempon pura menghaturkan banten suci dan buah-buahan. Upacara itu biasanya dilakukan tepat pada siang hari sebelum digelar puncak pujawali pada siang harinya.

Selanjutnya, upacara lelabaan untuk wong samar dilaksanakan sebagai bentuk persembahan kepada makhluk yang tidak kelihatan di Pura Pulaki. Makhluk ini memang diyakini selalu setia menjaga parahyangan, menjaga Ida Batara dan menjaga umat di Pura Pulaki dan di pura-pura lain di Bali. Persembahan pada upacara lelabaan ini terdiri dari suci ageng, ajengan keplogan, klungah aijeng dan pisang aijeng yang diikat ibus (sejenis pohon). Upacara ini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kesadaran umat untuk selalu menjaga wong samar dan gamang sehingga jagat secara niskala dan sekala selalu seimbang dan rahayu.

Sejumlah umat mengakui, ratusan kera yang selama ini berkeliaran di Pura Pulaki akan menunjukkan sikap yang jinak setelah digelar upacara Wanara Laba. Umat bahkan menganggap keberadaan ratusan kera di Pura Pulaki merupakan pelengkap yang tak bisa dipisahkan dari aura religius yang dipancarkan oleh Pura Pulaki. Meski terkadang kera-kera itu menunjukkan perilaku nakal, namun umat mengaku keberadaan kera itu merupakan bentuk kesempurnaan dari prosesi persembahyangan di Pura Pulaki. ''Justru ketika tak ada kera di Pura Pulaki, kami merasa persembahyangan belum terasa lengkap,'' kata seorang umat saat bersembahyang di Pulaki belum lama ini.

Pura Pesanakan
Selain Pura Pulaki, terdapat sejumlah pura besar di sekelilingnya. Ida Bagus Mangku Temaja mengatakan terdapat empat pura lagi yang berada di sekitar Pura Pulaki. Lokasi pura itu sepertinya memang diatur secara rapi, sehingga Pura Pulaki berada di tengah-tengah atau kerap disebut sebagai pusat atau pusar.

Empat pura itu yakni Pura Melanting yang berada di sebelah selatan, Pura Kerta Kawat yang berada di sebelah timur, Pura Pemuteran di barat dan Pura Pabean yang berada di sebelah utara Pura Pulaki. Keempat pura itu memiliki ruang dan fungsi yang berbeda sesuai dengan bidang kehidupan yang dilakoni manusia.

Di Pura Pulaki berstana Bhetara Sakti Wawu Rauh dan Sri Padmi Keniten. Di Pura Melanting dipuja Ida Betari Ayu Mas Melanting yang menjadi sumber pencerahan bidang ekonomi. Lalu di Pura Kerta Kawat disembah Ida Betara Mentang Yuda yang menjadi sumber pencerahan bidang hukum. Kemudian di Pura Pemuteran berstana Ida Batara Manik Mencorong yang dihormati sebagai sumber yang memberi penerangan kepada dunia (nyorongin jagat). Dan Pura Pabean adalah tempat pemujaan Ida Ayu Mas Subandar yang dalam dunia nyata bisa dianggap sebagai sumber pencerahan bidang bea dan cukai.

Pujawali Pura Pulaki dan pesanakannya juga dilakukan secara berurutan setiap hari. Tahun ini, pujawali di Pura Pulaki pada 23 Sepetember. Besoknya, 24 September adalah pujawali di Pura Agung Melanting. Lalu 25 September pujawali di Pura Kerta Kawat, 26 September di Pura Pemuteran dan 27 September di Pura Pabean.

Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba bahkan menyebutkan ada tujuh pura di kawasan Pura Pulaki. Yakni Pura Pulaki, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran. Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan itu memang tak bisa dipisahkan. Dan dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.

Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.

Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."

Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri . Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakan-nya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki. (ole)

Dudonan Upacara Pujawali di Pura Pulaki dan Pesanakannya

Rabu (8/9), negem dewasa, ngingsah beras, ngelinggihang Dewi Sri
Rabu (15/9), nancep
Senin (20/9), musanain, masang penjor, masang pangangge
Selasa (21/9), nunas tirta ke Pura Besakih miwah pura tiosan.
Rabu (22/9), melasti, masucian ring Pura Taman Banyupoh
Kamis (23/9), pukul 11.30 wita, upacara wanara laba
Kamis (23/9), pukul 20.00 wita, puncak karya pujawali
Jumat (24/9), pujawali ring Pura Melanting
Sabtu (25/9), pujawali ring Pura Kerta Kawat
Minggu (26/9), pujawali ring Pura Pemuteran
Senin (27/9), pujawali ring Pura Pabean
Selasa (28/9) sampai Kamis (30/9), Ida Batara nyejer
Kamis (7/10), ngaturang pakelem ke Ulun Danu Tamblingan
Sumber Bali Post.
Admin
Admin Terimakasih sudah mengunjungi situs kami. Jika terdapat kesalahan penulisan pada artikel atau link rusak dan masalah lainnya, mohon laporkan kepada Admin Web kami (Pastikan memberitahukan link Artikel yang dimaksud). Atau bagi anda yang ingin memberikan kritik dan saran silahkan kirimkan pesan melalui kontak form di halaman Contact Us